PEMILU TERTUTUP
Oleh: Ahmad Azroi
(OPINI)
Saya sangat mengagumi pikiran-pikiran Prof Hafid Abbas, guru besar UNJ, dalam beberapa forum yang secara langsung saya ikuti beliau sangat konsern dengan nilai-nilai dan semangat kebangsaan, bahkan terakhir seperti berhadap-hadapan dengan kekuasaan. Tapi kali ini saya mungkin berbeda pandangan dengan beliau dalam konteks beliau sebagai Ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang uji UU Pemilu (UU No.7 2017) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) Rabu 12 April 2023.
Polemik Pemilu terbuka tertutup ini menyeruak ke publik dimulai dengan adanya permohonan uji UU Pemilu ke MK dengan Nomor 114/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono pada medio akhir tahun 2022 lalu.
Prof Hafid Abbas memberi keterangan dengan straight pointnya kedaulatan rakyat dan biaya Pemilu yang mahal.
Pertama, kedaulatan rakyat;
Dengan membuat Pemilu tertutup dan power kembali dimiliki pimpinan partai politik, maka keadaan demokrasi kita berjalan mundur, dimana anggota DPR yang telah dipilih tentu semakin terkunci dengan kehendak pimpinan partai. Dimana kedaulatan rakyat jika yang mengatur semua kepentingan dan hajat rakyat adalah segelintir elit yang menguasai legitimasi partai politik.
Dalam keterangannya di ruang sidang komisi 3 DPR RI bersama Menkopolhukam tanggal 29 Maret 2023, Bambang Pacul dari PDIP jelas-jelas memberi tahu bahwa mereka sebagai anggota dewan sangat bergantung dengan arahan “ibu” alias ketua umum. Bambang Pacul menekankan, lobi atas UU Perampasan Aset tidak bisa dilakukan di DPR RI karena anggota-anggota DPR patuh terhadap ketua-ketua umum partai mereka masing-masing.
Apa yang dikhawatirkan Prof Hafid bahwa parpol tidak lagi berwibawa di depan anggota dewan terpilih sungguh paradoks dengan pernyataan Bambang Pacul di atas. Prof Hafid harus betul-betul jujur kemana sebenarnya bandul Pemilu tertutup ini diarahkan, untuk kedaulatan rakyat atau malah memperkuat hegemoni pimpinan partai terhadap anggota dewan.
Jika dengan sistem Pemilu terbuka saja para anggota dewan terkunci dan seakan-akan menjadi skrup ketua partai, apalagi nantinya jika Pemilu tertutup dilakukan tentu nasib anggota dewan yang jadi semakin terpasung. Apa lagi yang bisa mereka bela dan perjuangkan jika setiap kali anggota dewan mau interupsi pemerintah tiba-tiba direcall ketua partai.
Kedua, biaya Pemilu yang mahal;
Saya sepakat disini dengan prof Hafid bahwa mereka mereka yang berhasil duduk menjabat kebanyakan sibuk mengembalikan modal. Tapi akar masalah mahalnya biaya politik saat ini bukanlah disebabkan lemahnya parpol, akan tetapi tidak disiplinnya penyelenggaraan pemilu sehingga dana siluman masuk dan mempengaruhi hasil Pemilu. Uang siluman ini tidak hanya bisa membeli suara dari pemilih tapi juga bisa membeli penyelenggara pemilu.
Dengan adanya kekuasaan yang dominan pada pimpinan partai maka biaya politik menjadi bertambah yaitu untuk setoran ke ketua jika mau mendapatkan posisi “bagus”. Juga masih hangat di telinga kita tentang mahar politik yang harus dikeluarkan Cakada ketika mau mendapatkan surat keputusan (SK) pimpinan partai ketika mau dapatkan tiket
maju dalam pilkada. Bupati Adil Kab. Meranti tentu tak akan jadi pelaku suap disuap jika biaya politik murah dan bisa diakses oleh semua orang.
Jika hasil Pemilu adalah hal yang sangat penting bagi masa depan bangsa maka proses pembiayaan calon harus menjadi prioritas untuk diselesaikan. Negara harus turun tangan dan melakukan pembinaan menyeluruh dari semua tahapan pencalonan hingga menjadi wakil dan abdi rakyat, bukan abdi ketua partai. Tapi siapa peduli dengan ide ini, anggota dewan saat ini takut dengan ketum, dan tak mungkin juga ketum mau melemahkan wewenang dirinya sendiri. Saya menduga diam-diam banyak juga elit yang setuju dan menunggu sistem Pemilu tertutup ini disahkan MK.
Prof Hafid, jika kita kembali kepada sistem Pemilu tertutup, saya menyimpulkan kita sedang mundur kembali sejauh 20 tahun.
Sekian.