Kajati Kepri Hentikan Penuntutan Kasus Penganiayaan di Karimun Melalui Restorative Justice

Penghentian dan penuntutan perkara penganiayaan di Kabupaten Karimun melalui mekanisme Restorative Justice (RJ). Senin (29/9). f-Kejati Kepri
TANJUNGPINANG, (kepriraya.com)– Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri) kembali menorehkan langkah humanis dalam penegakan hukum dengan menghentikan penuntutan perkara penganiayaan di Kabupaten Karimun melalui mekanisme Restorative Justice (RJ). Senin (29/9).
Ekspose penghentian penuntutan ini dipimpin Kepala Kejati Kepri J. Devy Sudarso, didampingi Wakajati Kepri serta jajaran Bidang Pidum. Turut hadir secara virtual Kajari Karimun Dr. Denny Wicaksono bersama timnya, dan disetujui langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejagung RI, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.Hum.
Kasus tersebut melibatkan tersangka Judin Manik alias Manik A.d Gunung Manik (Alm), yang didakwa melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP. Peristiwa bermula dari perdebatan di sebuah warung kopi pada November 2024 hingga berujung tindakan penganiayaan. Korban, Jonson Manurung, mengalami luka sebagaimana tercatat dalam visum RSUD Muhammad Sani.
Setelah melalui proses mediasi, perkara ini memenuhi syarat penghentian penuntutan berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor 01/E/EJP/02/2022, antara lain:
- Tersangka dan korban telah berdamai;
- Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindak pidana;
- Ancaman pidana di bawah 5 tahun;
- Tidak menimbulkan kerugian materiil;
- Tersangka mengakui kesalahan dan korban memaafkan;
- Masyarakat menyambut positif perdamaian demi menjaga keharmonisan.
Dengan disetujuinya penghentian penuntutan, Kejari Karimun segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berbasis RJ.
Kejati Kepri menegaskan, penerapan RJ adalah bagian dari reformasi sistem peradilan pidana yang mengutamakan pemulihan, keseimbangan, dan kemanfaatan hukum, bukan semata-mata pembalasan. Namun demikian, RJ tidak boleh dimaknai sebagai celah bagi pelaku untuk mengulangi tindak pidana. (*)