Ketua DPRD Natuna Bersaksi Perkara Dugaan Korupsi Tunjangan Rumdis
TANJUNGPINANG (Kepriraya.com) – Ketua DPRD Kabupaten Natuna, Daeng Amhar, hadir sebagai saksi sidang dugaan korupsi korupsi tunjangan rumah dinas (Rumdis) DPRD Natuna Tahun 2011-2015 senilai Rp 7,7 Miliar yang melibatkan 5 terdakwa di Pengadilan Tipikor Tanjungpinang, Kamis (20/10/2022)

Kelima terdakwa tersebut yakni, dua mantan Bupati Natuna Raja Amirullah dan Ilyas Sabli. Kemudian, Ketua DPRD Natuna Tahun 2009-2014 Hardi Candra. Makmur selaku Sekretaris DPRD Kabupaten Natuna periode Tahun 2009-2012, Syamsurizon selaku Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Natuna periode Tahun 2009-2016.
Sementara untuk terdakwa Hadi Candra dan Ilyas Sabli, saat ini diketahui merupakan seorang anggota DPRD Kepri periode 2019-2024.

Disamping Daeng Amhar, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Natuna dibantu JPU dari Kejati Kepri, juga menghadirkan dua saksi lainnya, yakni Ngesti Yuni Suprati, mantan Wakil Bupati Natuna dan juga istri dari Drs H Daeng Rusnadi, mantan Bupati Natuna, serta saksi Abil, selaku mantan anggota DPRD Natuna 2009-2014 dan 2014-2019.

Ketua DPRD Natuna, Daeng Amhar hadir sebagai saksi dalam perkara ini, terkait kedudukannya saat itu sebagai wakil ketua DPRD Natuna periode 2007-2015.
Sementara saksi Ngesti Yuni Suprati, mantan Wakil Bupati Natuna tersebut bersaksi dalam perkara ini atas kedudukannya sebagai anggota DPRD Natuna periode 2009-2014.
Kehadiran ketiga saksi tersebut, terkait sebagai pihak yang ikut menikmati uang tunjangan perumahan DPRD Natuna yang besarannya disesuaikan dengan posisi kedudukan mereka saat itu. Dimana untuk pimpinan DPRD setiap bukannya sebesar Rp.14 juta, Wakil Ketua Rp.13 juta dan anggota DPRD Rp.12 juta.
Namun saksi Ngesti Yuni Suprati, dalam keterangannya menyatakan sudah mengembalikan uang uang tunjangan perumahannya saat itu sebesar Rp.300 juta sesuai hasil temuan BPK sebelumnya.
“Pengembalian karena ada saran dari pihak Kejaksaan, sehingga dengan terpaksa dan sukarela sudah saya kembalikan semuanya,”kata Ngesti.
Sementara saksi Abil sebagai anggota DPRD Natuna saat itu, mengaku belum mengembalikan uang tunjangan perumahan DPRD Natuna tersebut dengan alasan masih ragu dan bimbang hasil temuan serta saran dari BPK itu.
“Saya masih ragu atas temuan dan saran dari BPK tersebut. Namun kalau sudah ada hasil akhirnya akan saya usahakan pengembaliannya,”kata saksi Abil.
Mendengar jawaban saksi Abil tersebut sempat membuat geram salah’satu majelis hakim. “Jadi saudara belum yakin dengan temuan BPK tersebut, apa masih menunggu putusan nanti,”ujar salah seorang hakim adhoc, Albiferri SH MH dan membuat mantan anggota DPRD Natuna ini terdiam.
Sementara saksi Deng Amhar, Ketua DPRD Natuna saat ini dalam sidang mengaku saat menjabat Wakil Ketua DPRD Natuna 2007-2015, tidak mengetahui adanya pembahasan tentang besaran tunjangan perumahan sebagaimana SK Bupati yang diterbitkan dimasa itu.
“Belakangan memang ada surat teguran dari BPK terhadap tunjangan perumahan untuk pimpinan dan anggota DPRD Natuna tersebut. Dan saya baru lebih jelas, setelah adanya proses penyelidikan oleh pihak kejaksaan,”ucap Deng Amhar yang juga adik dari Drs H Daeng Rusnadi, mantan Bupati Natuna.
Dalam sidang, para saksi ini juga lebih banyak mengaku tidak tahu dan lupa, ketika ditanyakan oleh JPU, majelis hakim maupun tim penasehat hukum para terdakwa, terkait ketentuan tentang tunjangan perumahan dinas tersebut.
Dalam sidang sebelumnya terungkap, perbuatan para terdakwa itu berawal dari Pemerintah Kabupaten Natuna telah menyelesaikan pembangunan 19 unit bangunan perumahan untuk Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Natuna di kota Ranai Tahun 2010, dengan total anggaran APBD senilai Rp 22 Miliar.
Namun, Rumdis seharga puluhan miliar ini belum dilengkapi sarana dan prasarana seperti belum tersedianya listrik, air minum, dan akses jalan. Lantaran dianggap belum optimal, Pimpinan DPRD dan Anggota DPRD Kabupaten Natuna belum bersedia menempati rumah dinas tersebut karena dianggap belum layak huni.
Terdakwa Hadi Candra selaku Ketua DPRD Natuna, juga berkeinginan melakukan perubahan besaran tunjangan perumahan bagi Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Natuna untuk Tahun 2011, dengan rincian Ketua DPRD senilai Rp 18 juta per bulan. Kemudian Wakil Ketua DPRD Natuna senilai Rp 17 juta per bulan, dan Anggota DPRD Natuna lainnya senilai Rp 15 juta per bulan.
Penentuan alokasi besaran tunjangan perumahan bagi Pimpinan dan Anggota DPRD Natuna yang dianggarkan tersebut tidak sesuai dengan mekanisme, yakni usulan Sekwan tidak pernah diajukan kepada bupati, Tim TAPD, tidak pernah melakukan survei rumah yang ditetapkan dalam Permendagri Nomor 7 Tahun 2006.
Perbuatan kelima terdakwa ini dilakukan tanpa analisa dan tanpa mempertimbangkan standarisasi satuan harga sewa rumah setempat. Besaran tunjangan yang ditetapkan Kepala Daerah setempat untuk Tahun 2011 sampai 2015 senilai Rp 14 juta per bulan (Ketua), Rp 13 juta (wakil ketua) dan Rp 12 juta (anggota)
Perbuatan para terdakwa dinilai melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat (1) huruf B UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah diubah menjadi UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Terdakwa telah melakukan, atau turut serta melakukan berbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
Dalam perkara ini, kelima terdakwa sejak di penyidikan di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kepri, bahkan hingga perkaranya disidangkan, belum dilakukan penahanan di Rutan sebegaimana layaknya dan masih berstatus tahanan kota (**)
Editor: Asf