TANJUNGPINANG

Antara Harapan dan Realita di Kabinet Prabowo-Gibran

Oleh: Nur Humaira
Mahasiswi Program Studi Sosiologi STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang

TANJUNGPINANG ,(kepriraya.com)–Tak berselang lama setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-8, Prabowo Subianto mengumumkan susunan menteri dan wakil menteri yang akan membantunya memimpin negeri ini.

Kabinet baru ini dinamakan Kabinet Merah Putih, yang berisikan 108 anggota yang terdiri atas 7 menteri koordinator, 41 menteri, 55 wakil menteri, dan 5 pejabat setingkat menteri termasuk Jaksa Agung dan Sekretaris Kabinet.

Melihat jumlah ini, muncul istilah baru di kalangan publik, mereka menyebut kabinet baru ini dengan istilah ‘kabinet gemoy’ atau ‘kabinet gemuk’. Tak heran mengapa publik menyebut kabinet baru ini dengan istilah tersebut. Pasalnya, kabinet Merah Putih memanglah kabinet terbesar kedua dalam sejarah Indonesia.

Bahkan, Kabinet Merah Putih ini merupakan yang terbanyak di Asia Pasific, dan berdasarkan data Biro Riset Infobank, rata-rata jumlah menteri di negara Asia Pasific hanya mencapai 22 menteri saja.

Sekarang, muncul lagi pertanyaan, apakah ‘kabinet gemuk’ ini akan membawa keuntungan bagi rakyat atau justru malah menjadi beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)?

Pada periode sebelumnya, yakni pada masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, jumlah menteri hanya ada 34 orang dan wakil menteri hanya ada 17 orang saja. Lantas mengapa pada era Prabowo-Gibran jumlah menteri dan wakil menteri menjadi membengkak? Setelah ditelusuri, hal ini dikarenakan adanya pemecahan kementerian menjadi beberapa bagian guna menangani bidang-bidang spesifik agar lebih terfokus.

Misalnya, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kini terbagi menjadi tiga kementerian terpisah, begitu pula dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kini dipecah menjadi dua kementerian, begitu juga dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga mengalami pemecahan serupa. Pemecahan ini lah yang membuat jumlah menteri dan wakil menteri bertambah, belum lagi ada bidang yang memiliki lebih dari satu wakil menteri.

Selain karena ukuran kabinet yang ‘gemuk’ bahkan cenderung ‘obesitas’ ini, perhatian publik juga tertuju pada wajah-wajah yang menjabat di Kabinet Merah Putih. Hal ini dikarenakan banyak nama-nama atau wajah-wajah lama masih bertebaran. Beberapa diantaranya seperti Sri Mulyani Indrawati yang kembali menjabat sebagai menteri keuangan, Erick Thohir yang kembali menjabat sebagai menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bahlil Lahadalia yang juga kembali menduduki jabatan yang sama, yaitu menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan lain-lain. Sehingga banyak masyarakat yang mengatakan bahwa kabinet baru ini masih ‘berbau’ Jokowi.

Lembaga kajian ekonomi dan hukum di Indonesia atau yang bernama Centre of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan kabinet Merah Putih bisa menghabiskan dana sampai Rp.777 miliar pertahunnya. Biaya ini termasuk gaji para staf pendukung, pengadaan mobil dinas, fasilitas kantor, dan pembayaran gaji pensiun bagi menteri dan wakil menteri.

Celios memperkirakan gaji dan tunjangan para menteri sekitar Rp.150 juta per bulan, sedangkan untuk wakil menteri sekitar Rp.100 juta perbulan. Celios juga memperkirakan anggaran operasional perpejabat kabinet mencapai Rp.500 juta perbulan, sehingga dalam 5 tahun mendatang peningkatan anggaran diperkirakan mencapai Rp.1,95 triliun.

Menurut Celios angka ini naik sebesar Rp.389,4 miliar dibanding pemerintahan Jokowi. Berdasarkan data yang didapatkan dari Celios, kabinet Indonesia Maju (kabinet Jokowi) hanya menghabiskan Rp.387,6 miliar pertahun. Pembengkakan anggaran ini, tentunya sangat berpotensi untuk memperberat APBN (bisnis.tempo.co, diakses pada tanggal 30 Oktober 2024).

Hal lain yang harus kita ingat juga adalah utang negara. Menurut data dari Biro Riset Infobank, jumlah utang Indonesia kini telah mencapai angka yang fantastis, yakni sebesar Rp.8.338 triliun. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi mencerminkan beban yang semakin berat di pundak negara. Bagaimana tidak? Pada tahun 2025 nanti, utang jatuh tempo diperkirakan mencapai Rp.800,33 triliun, hampir dua kali lipat dari posisi sebelumnya yang sebesar Rp.434,29 triliun. Lonjakan ini tentu mengundang kekhawatiran, terutama di tengah kebutuhan anggaran yang semakin meningkat.

Pada tahun 2024 saja, APBN sudah dibebani dengan pembayaran bunga utang yang mencapai Rp.434,29 triliun. Ini berarti, sejumlah besar anggaran negara dialokasikan hanya untuk membayar bunga, bukan untuk pembangunan atau program yang langsung dirasakan masyarakat (infobanknews.com, diakses pada tanggal 30 Oktober 2024).

Angka-angka ini memberi gambaran betapa besar tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Apakah pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan cukup kuat untuk menopang beban utang ini? Dan apakah kebijakan fiskal akan mampu mengimbangi tekanan anggaran yang semakin tinggi? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa diabaikan, karena salah satu dampak dari utang yang membengkak adalah berkurangnya ruang fiskal untuk program-program prioritas lainnya, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Di tengah tekanan fiskal ini, muncul pertanyaan besar mengenai bagaimana ‘kabinet gemuk’ yang dibentuk oleh pemerintahan Prabowo-Gibran akan menambah beban anggaran negara.
Dengan anggaran yang terkuras untuk membayar utang dan operasional kabinet, apakah ada ruang tersisa untuk program-program kesejahteraan rakyat? Bisakah kabinet yang besar ini memberikan manfaat nyata yang setimpal dengan biayanya?

Di sinilah pemerintah harus mampu menjawab ekspektasi publik dengan menunjukkan bahwa pengeluaran besar untuk kabinet ini bukan sekadar beban, tetapi sebuah investasi untuk perbaikan yang nyata.

Presiden Terpilih Prabowo Subianto harus memperkuat upaya pemberantasan korupsi untuk mengawasi kabinet yang ia pimpin. Hal ini harus dilakukan untuk memastikan kabinet ‘gemuk’ tersebut tidak menjadi lahan untuk melakukan korupsi.

Dengan anggaran sebesar itu, para menteri harus bertanggung jawab dengan cara bekerja semaksimal mungkin agar rakyat tidak merasa bahwa anggaran yang telah negara keluarkan menjadi sia-sia. Apabila di tengah perjalanan, para menteri yang terpilih terjerat kasus korupsi, hal ini pasti akan memicu kemarahan publik, terutama dari para pendukung pasangan Prabowo-Gibran.

Oleh karena itu, penting untuk menetapkan pakta integritas yang mewajibkan para menteri untuk menghindari tindakan korupsi. Dengan demikian, diharapkan pemerintah dapat membangun kepercayaan publik dan menciptakan pemerintahan yang bersih, serta fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Namun, karena semua kebijakan yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto masih berada di ‘tahap awal’, kita tidak perlu memberikan penilaian yang terlalu berlebihan. Penting bagi kita untuk tetap berpikir positif dan berprasangka baik sambil menunggu hasil kerja yang nyata. Kekhawatiran mengenai kabinet Merah Putih yang gemuk tidak seharusnya membuat kita pesimistis atau apatis. Sebaliknya, hal ini harus menjadi pengingat bagi kita untuk terus bersikap kritis terhadap pemerintah.

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *