Mulai 2027, Belanja Pegawai Maksimal 30 Persen APBD

Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang, Robby Patria
*Status Keuangan Tanjungpinang Turun ke Level Rendah
TANJUNGPINANG, (kepriraya.com)– Pemerintah daerah di seluruh Indonesia, termasuk Tanjungpinang, wajib menyesuaikan komposisi belanja pegawai maksimal 30 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mulai tahun 2027. Ketentuan ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang, Robby Patria, mengungkapkan bahwa selama ini banyak pemerintah daerah di Kepulauan Riau melampaui batas tersebut. Bahkan, belanja pegawai kerap kali lebih besar dibandingkan anggaran untuk pembangunan dan pelayanan publik.
“Belanja pegawai tidak boleh melebihi 30 persen dari total APBD. Tapi faktanya, ada pemda yang belanja pegawainya lebih besar dari belanja pembangunan,” kata Robby, Senin (24/6).
Ia menjelaskan bahwa tingginya jumlah ASN, PPPK, dan tenaga honorer turut memperburuk Kemampuan Keuangan Daerah (KKD). Menurut Robby, jika pendapatan asli daerah (PAD), dana transfer, dan dana alokasi umum dikurangi dengan belanja pegawai, tunjangan, serta Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) hasilnya di bawah Rp300 miliar, maka daerah tersebut masuk dalam kategori KKD rendah.
Akibat status ini, beberapa tunjangan pejabat daerah ikut terdampak. Termasuk di antaranya adalah tunjangan anggota DPRD Tanjungpinang.
“Informasinya, karena KKD Tanjungpinang turun dari sedang ke rendah, 30 anggota DPRD harus mengembalikan kelebihan pembayaran tunjangan dan biaya reses. Semoga tidak terjadi pengembalian yang berlarut-larut,” ujar Robby, yang juga anggota Dewan Pakar ICMI Pusat.
Robby memperingatkan, jika Pemko Tanjungpinang masih mempertahankan pola belanja pegawai sebesar 52 persen tanpa penyesuaian TPP, maka pada 2027 penurunan TPP akan tidak terelakkan.
“Karena sudah menjadi amanat undang-undang, daerah wajib menyesuaikan. Jika tidak, konsekuensinya cukup berat,” jelasnya.
Untuk menghindari penurunan TPP dan menjaga stabilitas keuangan, Robby menekankan pentingnya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun tantangannya tidak mudah. Jika kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah masih di bawah 40 persen, maka kondisi keuangan daerah akan terus dalam tekanan.
“Kalau PAD kecil, daerah akan sangat tergantung pada transfer dari pusat. Ini ibaratnya besar pasak daripada tiang,” tegasnya.
Lebih lanjut, Robby menyoroti bahwa pembatasan belanja pegawai bertujuan agar belanja publik bisa lebih optimal.
“Kalau ekonomi mau tumbuh, maka yang harus diperbesar adalah belanja pembangunan, pemberdayaan masyarakat, bantuan sosial, dan lainnya. Bukan belanja pegawai,” pungkasnya.